Rabu, 29 Mei 2013

HUKUM JIMAT DALAM ISLAM

Kali ini saya ingin membahas seputar Hukum Pemakaian Jimat/Wifiq/azimah didalam Islam yang memang sudah tidak asing lagi bagi Masyarakat di Indonesia ini.


Tujuan saya membuat artikel ini, tidak lain hanya ingin menghilangkan kerancuan & sikap suuzhon sebagian umat terhadap kalangan atau mereka yang menggunakan Jimat dan sejenisnya ini..


InsyaAllah Ilmu yang saya sampaikan disini dapat saya pertanggung jawabkan baik di dunia maupun di akhirat nanti, karna Ilmu-ilmu, dalil-dalil yang saya dapatkan, adalah bersumber dari para Ahli yang paham & mengerti betul Bidang-bidang Ilmu Agama Islam.. Semoga Bermanfaat.. :-)


DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN :


Jimat atau azimat dalam bahasa Arab disebut dengan tamimah (penyempurna). Makna tamimah adalah setiap benda yang digantungkan di leher atau selainnya untuk melindungi diri, menolak bala, menangkal penyakit ‘ain (Penyakit yang punya kekuatan membunuh yang muncul dari pandangan mata.) dan dari bahan apa pun. (Lisanul Arab 12/69). Dalam perkembangannya, yang dimaksud azimat adalah segala benda yang diyakini memiliki berkah untuk tujuan-tujuan tertentu.


Sebagian orang berpendapat bahwa azimat adalah syirik dengan mengambil dasar hadits shahih riwayat Ahmad berikut:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya suwuk (rukyah), jimat dan pengasihan adalah syirik.”

Banyak orang yang tidak paham hadis, menelan mentah-mentah hadis tersebut dan mengatakan (dengan ketidaktahuannya) bahwa semua rukyah dan jimat adalah syirik. Padahal yang dimaksud hadis tersebut tidak demikian.


Dalam ilmu hadis, untuk bisa memahami hadis, kita harus memahami sejarah munculnya hadis tersebut atau asbabun wurud-nya suatu hadits. Sehingga kita bisa mengambil kesimpulan yang tepat. Sayangnya, banyak orang yang merasa pintar berdalil padahal dia hanya membaca hadis terjemahan dan kemudian mengambil kesimpulan sendiri.


Imam al-Munawi menjelaskan, menggunakan rukyah (kecuali yang syar’iyyah), jimat dan pelet (pengasihan) dianggap syirik sebagaimana dalam redaksi hadits, karena hal-hal di atas yang dikenal di zaman Rasulallah sama dengan yang dikenal pada zaman jahiliyah yaitu ruqyah (yang tidak syar’iyyah), jimat dan pengasihan yang mengandung syirik. Atau dalam hadits, Rasulallah menganggap rukqah adalah syirik karena menggunakan barang-barang tersebut berarti pemakainya meyakini bahwa benda-benda itu mempunyai pengaruh (ta’tsir) yang bisa menjadikan syirik kepada Allah.


Imam Ath-Thayyibi menanggapi hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan syirik pada hadits di atas adalah apabila seseorang meyakini bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan dan bisa mempengaruhi (merubah sesuatu) dan itu jelas-jelas bertentangan dengan ke-tawakkal-an kepada Allah. (Faidhul Qadir 2/426.)


Di bagian lain al-Munawi menjelaskan bahwa pengguna jimat sama dengan melakukan pekerjaan ahli syirik, APABILA pengguna meyakini bahwa jimat tersebut dapat menolak takdirnya yang sudah tercatat.


Namun, jika jimat tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir. (Ibid. 6/223.)


Hukum ini juga berlaku untuk semua jenis benda yang berasal dari peninggalan orang-orang Sholeh atau para Wali Allah, untuk kita bertabbaruk (Mengambil Berkah) dari benda-benda tersebut, dengan berbagai dalil, diantaranya :


1. “Dia (Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq) mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam, oleh karenanya kita mencucinya (agar diambil berkahnya) sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.


Dalam menjelaskan riwayat di atas Imam an-Nawawi di dalam kitab beliau Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi  ( Shahih Muslim karya al-Imaam Muslim bin al Hajjaj (Imam Ahli hadits), menuliskan: Dalam riwayat ini terdapat dalil dalam anjuran untuk mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan orang-orang saleh, seperti dengan baju mereka.


2. kemudian hal itu tidak berlaku hanya kepada peninggal Nabi saja, namun SEMUA muslim yang Sholeh, dapat pula kita mengambil berkah darinya, dalilnya :


Sabda Rasulullah saw : “keberkahan adalah ada pada ulama ulama kalian (Shahih Ibn Hibban hadits no.559)
Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar : bahwa kedatangan Nabi saw atas undangan orang yg minta beliau saw shalat dirumahnya untuk dijadikan musholla adalah Hujjah yg jelas atas bolehnya Tabarruk dgn bekas bekas orang shalih, dan peringatan bagi mereka yg mengira bahwa hal hal itu adalah kemungkaran”. (Fathul baari Al masyhur Juz 1 hal 569)


3. Berkata Al hafidh Imam Nawawi mengenai hadits ketika orang yg meminta Nabi saw datang kerumahnya untuk shalat dirumahnya agar ia jadikan tempat Rasul saw shalat dirumahnya itu musholla, bahwa “hadits ini merupakan dalil bolehnya tabarruk dg bekas bekas shalihin, dan bertabarruk dg kunjungan para ulama dan orang orang mulia, dan keberkahan pada mereka” Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 1 hal 244)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil Tabarruk lainnya yang tidak sanggup untuk saya cantumkan satu-persatu disini.


WIFIQ :


Adapun wifiq adalah semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, termasuk keselamatan, keberhakan dalam usaha, penyembuhan penyakit, memudahkan orang yang melahirkan dan lain-lain.


Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah-nya menjawab: hukum menggunakan wifiq tersebut adalah boleh jika digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syari’at dan jika digunakan untuk melakukan hal haram maka hukumnya haram. Dan dengan ini, kita dapat menjawab pendapat al-Qarafi (ulama Malikiyyah murid ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) yang menegaskan bahwa wifiq adalah termasuk bagian dari sihir. (Fatawi Haditsiyyah hlm. 2)


Di antara ulama Islam yang ahli dan berkecimpung secara langsung dengan pembuatan wifiq adalah Al-Ghazali. Bahkan Shohabat Rasulullah SAW, Sayyidina Abdurrohman bin auf RA, pernah menulis huruf-huruf permulaan AlQur`an dengan tujuan menjaga harta benda agar aman.


Ulama Salaf Imam Sufyan al tsauri menuliskan untuk wanita yang akan melahirkn dan digantung didada.


Dan bahkan Ulama seperti Ibnu taimiyah al harrani-pun pernah menulis QS Hud. 44 didahi orang yang mimisan.


Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

 اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu”. (QS al-Mu’min: 60)


Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:

 عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ
الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

 Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di  dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim. 4079).


Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.”


Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).


Dengan demikian, Wifiq atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:

 عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “‘Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad. 3385).


Mengomentari hadits ini, Al-Imam Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: “Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).


lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.


Al-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).”


Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst.


Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).



KETENTUAN-KETENTUAN DALAM MENGGUNAKAN JIMAT :


Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.


1. Menggunakan/Berasal dari Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW.


2. Bila jimat tersebut berbentuk sebuah benda/barang/petilasan tertentu, HARUS dapat dipastikan bahwa itu berasal dari barang-barang peninggalan orang-orang Sholihin, dan TIDAK BOLEH berasal dari peninggalan orang-orang Kafir atau Fasik. atau bisa juga bila benda/barang/petilasan itu telah didoa-doakan terlebih dahulu


3. Tertanam keyakinan bahwa azimat itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tidak dapat memberi manfaat apapun, kecuali hanya karena takdir, izin dan kuasa daripada Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab/wasilah/perantara saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).



KESIMPULAN :


Jadi apakah islam memperbolehkan azimat..?? Menurut pendapat dari ulama besar yang kami ikuti perkataannya, bahwa islam memperbolehkan penggunaan azimat selama azimat tersebut, ASAL sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.


Ibaratnya seorang Polisi yang selalu membawa Pistol, apakah Polisi tersebut dapat dikatakan Syirik/Musyrik..??
tentu saja tidak demikian, karna Pistol tersebut hanya WASILAH saja untuk pengamanan Polisi tersebut, sedangkan Syirik adalah MENYEMBAH selain kepada Allah SWT, tentu Polisi tersebut tidak menyembah Pistol tersebut bukan..?? begitu pula dengan orang-orang yang hendak menggunakan Jimat dan sejenisnya.



Ingat bahwa “Setiap Amal itu tergantung pada NIATnya”, jika Niat kita hanya ingin Bertabbaruk, berikhtiar melalui Jimat tersebut maka tidak mengapa, lain hal jika NIAT kita menggunakan Jimat tersebut, memang bertujuan untuk Kemaksiatan kepada Allah SWT, tentu hal itu dilarang..




WALLAHU’ALAM..
Categories:

3 komentar:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!