Kamis, 30 Mei 2013

Artikel Sederhana ini saya buat karena terinspirasi dengan salah satu Dakwah yang disampaikan oleh Ustadz Felix Siauw melalui Akun Twitternya, saya ingin mencoba berbagi dakwah yang beliau sampaikan, dengan harapan bisa menjadi ‘Tali Penghubung’ antara saya dan kalian untuk mencapai Ridho Allah & Rasul-Nya. Allahumma Aamiin.



Feminisme menjadikan materi sebagai standar sukses, wajar bila mereka merasa dunia tidak adil, karena materi jadi penanda sukses. Berbagai dalil mereka lontarkan untuk mendukung gerakan ini, salah satunya ialah feminisme menganggap wanita modern harus lebih mirip lelaki, bahwa bila wanita tidak bekerja maka wanita akan direndahkan.


Feminisme sukses mendidik atau bahkan mendoktrin wanita, agar melihat kesuksesan sebagai punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat dll. Wajar bila hasilnya di negara-negara asal feminisme, wanita jadi lebih MALAS berkeluarga apalagi memiliki anak, toh bekerja itu jauh lebih asyik.


Menurut pandangan feminisme, IRT itu perendahan martabat perempuan, tidak modern, perbudakan terhadap wanita. Wajar di negara-negara yang vokal feminisme, perceraian pun memuncak, karena tidak ada satu pemimpin dalam keluarga.


Di US misalnya yang jadi kampiun feminisme, angka perceraian mencapai 50% per 2012 silahkan rujuk http://www.divorcerate.org/.




Feminisme BERHASIL mangaburkan fungsi ayah dan ibu dalam rumah tangga, hanya semata-mata demi mendapatkan lebih banyak materi. Akhirnya meningkatlah angka single parents, dan jelas Broken Home. Silahkan rujuk http://www.thenewamerican.com/culture/family/item/829-broken-homes-in-the-united-states-are-at-alarming-level-study-finds


Banyak juga studi-studi yang menperingatkan, sangat sulit untuk memadukan ibu dan karir sekaligus, coba rujuk http://t.co/mu5t6N2u3m
Sebagai tambahan, US yang melahirkan gerakan feminisme saja, sudah banyak bermunculan gerakan anti-feminisme sebagai gantinya. Itu artinya di US sudah banyak wanita sadar bahwa feminisme mengorbankan keluarga, mereka ingin kembali menjalankan peran sebagai  ibu rumah tangga.


Karena seberapa banyak waktu pun yang didedikasikan untuk mendidik anak, tiada pernah akan ada waktu yang cukup untuknya.


Kemudian ada yang beralasan, "saya ibu sekaligus karyawan, anak saya baik-baik saja",
Jawabannya, “di-sambi aja sudah baik, apalagi bila fulltime-mother? tentu sangat baik :-D


Lalu muncul kembali pertanyaan prinsipil,  "apakah Islam melarang wanita bekerja?" , "apakah wanita tidak boleh berpendidikan tinggi?", Jawabannya, “dalam Islam hukum wanita bekerja itu mubah (boleh), sedangkan hukum menjadi ibu dan pengelola rumah tangga itu kewajiban”.


Jadi memang sah-sah saja wanita memilih bekerja , namun beres juga kewajibannya, tentu bila dia lebih memilih yang wajib, itu yang utama.



Hidup memang perkara pilihan, dan Islam memerintahkan untuk memaksimalkan waktu ibu untuk anak-anaknya, sedangkan urusan uang, biar menjadi kewajiban ayahnya.


Kemudian muncul lagi pertanyaan, “bagaimana dengan wanita yang ditinggal suami apapun alasannya , maka bekerja menafkahi anak tentu amal pahala besar baginya”, jawabannya, “maka karir terbaik wanita  adalah menjadi ibu sepenuhnya”.


Lalu bagaimana tentang pendidikan..??  tidak bosan-bosan saya sampaikan ,bahwa seorang ibu HARUS terdidik sempurna, tinggi dan luas ilmunya. Bahkan wanita Muslimah WAJIB lebih terdidik daripada lelaki, karena ialah ‘madrasatul ula’ (pendidikan pertama dan utama) bagi anak-anaknya.


Maka jangan bertanya,  "untuk apa pendidikan tinggi bila hanya jadi IRT?" , Jawabannya, “jadi IRT justru memang perlu pendidikan tinggi”. Karena di tangan kaum ibu generasi Muslim berada,  bukan di tangan ayah generasi Muslim dibentuk.


Begitu banyak wanita yang sebetulnya bisa menggapai dunia lebih dari lelaki , tapi mereka mengorbankan segalanya demi anaknya, Subhanallah, sungguh perbuatan yang MULIA. Maka dari ibunda MULIA semisal itulah , menjadilah Imam Syafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Rata-rata ulama besar menghabiskan masa kecil dalam yatim, ibu merekalah yang mendidik dan mendaras Al-Qur'an kepada mereka setiap waktu.



Maka sembah sujud kami pada Allah Swt, yang selalu menjaga dunia dengan para ibunda MULIA,  yang mau mengorbankan semua buat kami anak-anaknya, hormat khidmat kami padamu wahai ibu,  yang berani gadaikan semua waktu tanpa sesal dan keluh, membina kami jadi yang terbaik dalam agama.


Maka kepada para bunda MULIA itu, tersurat doa kami  tulus kepadamu, "Wahai Tuhanku, kasihilah keduanya, sebagaimana keduanya TELAH MENDIDIK AKU WAKTU KECIL" (QS 17:24)


Well, kembali lagi semua masalah pilihan, pilih part-time mother dengan segala resikonya or pilih full-time mother, dengan segala kemulian yang dijanjikan oleh-Nya..??  you decide :-D


SEMOGA BERMANFAAT



SUMBER: http://chirpstory.com/li/82452


Rabu, 29 Mei 2013

HUKUM JIMAT DALAM ISLAM

Kali ini saya ingin membahas seputar Hukum Pemakaian Jimat/Wifiq/azimah didalam Islam yang memang sudah tidak asing lagi bagi Masyarakat di Indonesia ini.


Tujuan saya membuat artikel ini, tidak lain hanya ingin menghilangkan kerancuan & sikap suuzhon sebagian umat terhadap kalangan atau mereka yang menggunakan Jimat dan sejenisnya ini..


InsyaAllah Ilmu yang saya sampaikan disini dapat saya pertanggung jawabkan baik di dunia maupun di akhirat nanti, karna Ilmu-ilmu, dalil-dalil yang saya dapatkan, adalah bersumber dari para Ahli yang paham & mengerti betul Bidang-bidang Ilmu Agama Islam.. Semoga Bermanfaat.. :-)


DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN :


Jimat atau azimat dalam bahasa Arab disebut dengan tamimah (penyempurna). Makna tamimah adalah setiap benda yang digantungkan di leher atau selainnya untuk melindungi diri, menolak bala, menangkal penyakit ‘ain (Penyakit yang punya kekuatan membunuh yang muncul dari pandangan mata.) dan dari bahan apa pun. (Lisanul Arab 12/69). Dalam perkembangannya, yang dimaksud azimat adalah segala benda yang diyakini memiliki berkah untuk tujuan-tujuan tertentu.


Sebagian orang berpendapat bahwa azimat adalah syirik dengan mengambil dasar hadits shahih riwayat Ahmad berikut:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya suwuk (rukyah), jimat dan pengasihan adalah syirik.”

Banyak orang yang tidak paham hadis, menelan mentah-mentah hadis tersebut dan mengatakan (dengan ketidaktahuannya) bahwa semua rukyah dan jimat adalah syirik. Padahal yang dimaksud hadis tersebut tidak demikian.


Dalam ilmu hadis, untuk bisa memahami hadis, kita harus memahami sejarah munculnya hadis tersebut atau asbabun wurud-nya suatu hadits. Sehingga kita bisa mengambil kesimpulan yang tepat. Sayangnya, banyak orang yang merasa pintar berdalil padahal dia hanya membaca hadis terjemahan dan kemudian mengambil kesimpulan sendiri.


Imam al-Munawi menjelaskan, menggunakan rukyah (kecuali yang syar’iyyah), jimat dan pelet (pengasihan) dianggap syirik sebagaimana dalam redaksi hadits, karena hal-hal di atas yang dikenal di zaman Rasulallah sama dengan yang dikenal pada zaman jahiliyah yaitu ruqyah (yang tidak syar’iyyah), jimat dan pengasihan yang mengandung syirik. Atau dalam hadits, Rasulallah menganggap rukqah adalah syirik karena menggunakan barang-barang tersebut berarti pemakainya meyakini bahwa benda-benda itu mempunyai pengaruh (ta’tsir) yang bisa menjadikan syirik kepada Allah.


Imam Ath-Thayyibi menanggapi hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan syirik pada hadits di atas adalah apabila seseorang meyakini bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan dan bisa mempengaruhi (merubah sesuatu) dan itu jelas-jelas bertentangan dengan ke-tawakkal-an kepada Allah. (Faidhul Qadir 2/426.)


Di bagian lain al-Munawi menjelaskan bahwa pengguna jimat sama dengan melakukan pekerjaan ahli syirik, APABILA pengguna meyakini bahwa jimat tersebut dapat menolak takdirnya yang sudah tercatat.


Namun, jika jimat tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir. (Ibid. 6/223.)


Hukum ini juga berlaku untuk semua jenis benda yang berasal dari peninggalan orang-orang Sholeh atau para Wali Allah, untuk kita bertabbaruk (Mengambil Berkah) dari benda-benda tersebut, dengan berbagai dalil, diantaranya :


1. “Dia (Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq) mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam, oleh karenanya kita mencucinya (agar diambil berkahnya) sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.


Dalam menjelaskan riwayat di atas Imam an-Nawawi di dalam kitab beliau Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi  ( Shahih Muslim karya al-Imaam Muslim bin al Hajjaj (Imam Ahli hadits), menuliskan: Dalam riwayat ini terdapat dalil dalam anjuran untuk mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan orang-orang saleh, seperti dengan baju mereka.


2. kemudian hal itu tidak berlaku hanya kepada peninggal Nabi saja, namun SEMUA muslim yang Sholeh, dapat pula kita mengambil berkah darinya, dalilnya :


Sabda Rasulullah saw : “keberkahan adalah ada pada ulama ulama kalian (Shahih Ibn Hibban hadits no.559)
Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar : bahwa kedatangan Nabi saw atas undangan orang yg minta beliau saw shalat dirumahnya untuk dijadikan musholla adalah Hujjah yg jelas atas bolehnya Tabarruk dgn bekas bekas orang shalih, dan peringatan bagi mereka yg mengira bahwa hal hal itu adalah kemungkaran”. (Fathul baari Al masyhur Juz 1 hal 569)


3. Berkata Al hafidh Imam Nawawi mengenai hadits ketika orang yg meminta Nabi saw datang kerumahnya untuk shalat dirumahnya agar ia jadikan tempat Rasul saw shalat dirumahnya itu musholla, bahwa “hadits ini merupakan dalil bolehnya tabarruk dg bekas bekas shalihin, dan bertabarruk dg kunjungan para ulama dan orang orang mulia, dan keberkahan pada mereka” Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 1 hal 244)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil Tabarruk lainnya yang tidak sanggup untuk saya cantumkan satu-persatu disini.


WIFIQ :


Adapun wifiq adalah semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, termasuk keselamatan, keberhakan dalam usaha, penyembuhan penyakit, memudahkan orang yang melahirkan dan lain-lain.


Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah-nya menjawab: hukum menggunakan wifiq tersebut adalah boleh jika digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syari’at dan jika digunakan untuk melakukan hal haram maka hukumnya haram. Dan dengan ini, kita dapat menjawab pendapat al-Qarafi (ulama Malikiyyah murid ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) yang menegaskan bahwa wifiq adalah termasuk bagian dari sihir. (Fatawi Haditsiyyah hlm. 2)


Di antara ulama Islam yang ahli dan berkecimpung secara langsung dengan pembuatan wifiq adalah Al-Ghazali. Bahkan Shohabat Rasulullah SAW, Sayyidina Abdurrohman bin auf RA, pernah menulis huruf-huruf permulaan AlQur`an dengan tujuan menjaga harta benda agar aman.


Ulama Salaf Imam Sufyan al tsauri menuliskan untuk wanita yang akan melahirkn dan digantung didada.


Dan bahkan Ulama seperti Ibnu taimiyah al harrani-pun pernah menulis QS Hud. 44 didahi orang yang mimisan.


Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

 اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu”. (QS al-Mu’min: 60)


Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:

 عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ
الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

 Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di  dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim. 4079).


Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.”


Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).


Dengan demikian, Wifiq atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:

 عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “‘Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad. 3385).


Mengomentari hadits ini, Al-Imam Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: “Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).


lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.


Al-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).”


Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst.


Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).



KETENTUAN-KETENTUAN DALAM MENGGUNAKAN JIMAT :


Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.


1. Menggunakan/Berasal dari Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW.


2. Bila jimat tersebut berbentuk sebuah benda/barang/petilasan tertentu, HARUS dapat dipastikan bahwa itu berasal dari barang-barang peninggalan orang-orang Sholihin, dan TIDAK BOLEH berasal dari peninggalan orang-orang Kafir atau Fasik. atau bisa juga bila benda/barang/petilasan itu telah didoa-doakan terlebih dahulu


3. Tertanam keyakinan bahwa azimat itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tidak dapat memberi manfaat apapun, kecuali hanya karena takdir, izin dan kuasa daripada Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab/wasilah/perantara saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).



KESIMPULAN :


Jadi apakah islam memperbolehkan azimat..?? Menurut pendapat dari ulama besar yang kami ikuti perkataannya, bahwa islam memperbolehkan penggunaan azimat selama azimat tersebut, ASAL sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.


Ibaratnya seorang Polisi yang selalu membawa Pistol, apakah Polisi tersebut dapat dikatakan Syirik/Musyrik..??
tentu saja tidak demikian, karna Pistol tersebut hanya WASILAH saja untuk pengamanan Polisi tersebut, sedangkan Syirik adalah MENYEMBAH selain kepada Allah SWT, tentu Polisi tersebut tidak menyembah Pistol tersebut bukan..?? begitu pula dengan orang-orang yang hendak menggunakan Jimat dan sejenisnya.



Ingat bahwa “Setiap Amal itu tergantung pada NIATnya”, jika Niat kita hanya ingin Bertabbaruk, berikhtiar melalui Jimat tersebut maka tidak mengapa, lain hal jika NIAT kita menggunakan Jimat tersebut, memang bertujuan untuk Kemaksiatan kepada Allah SWT, tentu hal itu dilarang..




WALLAHU’ALAM..

Sabtu, 18 Mei 2013


(Sengaja Font & warnanya saya Ubah-ubah, mengingat pelajaran management Otak yang pernah saya Pelajari, Bahwa salah satu kiat membuat Orang tidak Bosan & Mengantuk saat membaca Tulisan kita yang terbilang Panjang & Rumit, adalah dengan cara memVariasikan Warna serta Font yang ada. Sehingga Tercipta keselarasan Antara Otak Kiri & Kanan Kita, semoga Terbantu.. )


Banyak kalangan yang mengatakan Bahwa mendengarkan, memainkan, menyairkan sebuah nyanyi-nyanyian, senandung-senandung, alat musik dan lain sejenisnya, adalah suatu hal yang Salah, Haram, Tidak Baik, bahkan Sesat & segudang sifat Buruk lainnya..

kali ini saya mau mencoba memberikan dalil/argument kami mengenai Hukum Bermusik yang coba saya cari dari berbagai Sumber yang saya tahu & InsyaAllah dapat dipertanggung jawabkan baik di Dunia maupun di Akhirat nanti.. Aamiin, semoga Allah SWT memberikan saya Taufik & Hidayahnya..


DALIL yg MENOLAK SENI/MUSIK.


1. 
“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6).

Mereka beralasan pada penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.


Bantahannya :

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi”:
Pertama: TIDAK ADA hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw.


Kedua:
pendapat ini telah DITENTANG oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang lain.


Ketiga:
nash ayat ini justru MEMBATALKAN argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu, yaitu Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, yaitu mengolok-olok Agama ALLAH, Menghinakan Ajaran ALLAH, atau untuk Menyesatkan seseorang dari jalan Allah & Rasulnya.

Seseorang yang TERLALU SIBUK membaca Quran, belajar Hadits, bersenandung Sholawat, tetapi MELALAIKAN Sholat, tetap bisa dikategorikan apa yang dimaksud di Ayat tersebut, jadi ayat ini bukan sebatas pada kata-kata yang tidak bermanfaat saja, tapi lebih luas dari itu, APA SAJA yang membuat melalaikan, menyesatkan, mengalihkan Hati, fikiran & Sikap kita dari Allah & Rasulnya, maka itu juga sudah dianggap durhaka terhadap oleh & kepada Allah SWT, bukan hanya khusus pada Nyanyi-nyanyian saja.


2.
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …” (Al Qashash: 55).
menurut mereka, termasuk kata “laghwu” (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam ayat ini adalah ‘Nyanyian’


Bantahannya :

Pertama :
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian TIDAKLAH tepat, karena makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)


Kedua :
Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan HANYA untuk sesuatu yang TIDAK ADA faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.


Ketiga :
Imam Ghazali berkata, Saya (Imam Ghazali) katakan bahwa TIDAK SEMUA nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan NIAT pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hati & amalmu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)


3
. Hadits Rasulullah SAW: "Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya, pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak panah dari busurnya" (HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang disebutkan dalam hadits ini.


Bantahannya :


Orang-Orang yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits tersebut dha'if, seandainya shahih pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu adalah bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi menunjukkan tidak berguna.

Abu Darda' pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku akan melakukan untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk melakukan yang haq (kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits tersebut tidak dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi orang-orang Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari tiga hal tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar suara-suara burung serta berbagai permainan yang dilakukan oleh seseorang itu sama sekali tidak diharamkan, meskipun boleh kita katakan itu bathil (tanpa guna) secara langsung.


4.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq), dari Abi Malik atau 'Amir Al Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW ia bersabda: "Benar-benar akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari - Mu'allaq)
Bantahannya:

Hadist tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk "Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil (bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus, selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab).

Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus dan muqri'nya serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya (yang benar dari Rasul)."

Abu Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah berubah (hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."

Imam Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).'

Imam Nasa'i mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara mutlak)."

Meskipun Imam Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq dan banyak meriwayatkan, namun ada kemunkarannya.

Para ulama juga mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali memakai upah.
Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat terjadi perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah menjadi fitnah.

Intinya andaikan hadits ini dapat diterima, maka hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam dalam kemewahan, dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan sutera.
selain sifat yang diatas, maka tak mengapa.


5.
Hadits dari 'Aisyah RA : "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual belikannya, menghargainya, dan mengajarinya."


Bantahannya :


Pertama :
Hadits ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla)


Kedua :
Imam Al Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi wanita yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya para wanita di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu haram, mereka tidak bermaksud dengan fitnah itu kecuali dilarang. Adapun menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram dari hadits ini. Bahkan kepada selain pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan dalil hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak wanita di rumah 'Aisyah RA, yang akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya')


Ketiga :
Para penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan, di mana Islam datang untuk memberantasnya secara bertahap. Dan Islam tidak sependapat, hikmah ini menetapkan adanya kelas tertentu pada masyarakat Islam. Maka apabila ada hadits yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjual belikan, itu berarti dalam rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh.


Kesimpulan :


Bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya lagu-lagu itu mungkin shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada Rasulullah SAW yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.


DALIL KAMI YANG MENGATAKAN BOLEHNYA SENI MUSIK ITU.


1.
Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan manusia dengan memberikannya insting dan tabiat yang cenderung kepada apa saja yang dianggapnya BAIK & INDAH, seperti pemandangan yang hijau dan suara gemericik air sungai yang mengalir di sampingnya, lantas dengan itu dia menjadi tenang dan mungkin memberikan semangat untuk lebih giat beraktifitas. Insting dan tabiat ini adalah fitrah manusia yang dianugrahkan Allah Swt.

Kesenian atau dengan segala jenis nama lainnya, adalah merupakan salah satu dari keindahan itu sendiri, dan Kecintaan kita terhadap keindahan bisa mengitsbatkan keimanan dan menguatkannya, karena yakin bahwa keindahan adalah hakikat dari ciptaan Allah Swt., dan Dialah Yang Maha Indah, puncak dari segala keindahan.

Sesungguhnya Rasulpun telah Bersabda, “Allah Maha-Indah dan menyukai keindahan” (HR. Muslim ), jika dihubungkan dengan sabab wurud-nya hadits ini, maka dapat diambil faidah bahwa menggunakan pakaian yang bagus dan indah, memperindah fisik, memperindah syair dengan memperbagus suara, selama tidak disertai dengan kekaguman pada diri sendiri (‘ujub)
dan kesombongan baik secara lahiriyah maupun batiniyyah, maka hal tersebut tidak tergolong dalam kategori al-kibr –mengingkari kebenaran dan merendahkan manusia.


2.
Berdasarkan hadits shahih, di antaranya adalah hadits tentang menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi SAW di sisi Aisyah RA dan bentakan Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya, "Seruling syetan di rumah Nabi SAW".

Ini membuktikan bahwa kedua wanita itu bukan anak kecil (sebagaimana anggapan sebagian orang, jadi kalo anak kecil boleh saja menyanyi). Sebab kalau memang keduanya anak kecil, pasti tidak akan memancing kemarahan Abu Bakar RA.

Yang menjadi penekanan di sini adalah jawaban Nabi SAW kepada Abu Bakar RA dan alasan yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau ingin mengajarkan kepada kaum Yahudi bahwa di dalam agama kita itu ada keluwesan. Dan bahwa beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan mudah. Ini menunjukkan atas wajibnya memelihara tahsin shuratil Islam (gambaran Islam yang baik) di hadapan kaum lainnya, dan menampakkan sisi kemudahan dan kelonggaran yang ada dalam Islam.


3.
Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Aisyah pernah menikahkan salah seorang wanita dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka Rasulullah SAW datang dan bertanya, "Apakah kalian sudah memberi hadiah pada gadis itu?" Mereka berkata, "Ya (sudah)." Nabi berkata, Apakah kamu sudah mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi? 'Aisyah berkata, "Belum, maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sahabat Anshar itu kaum yang senang dengan hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang menyanyikan, "Kami datang kepadamu... kami datang kepadamu... selamat untuk kami dan selamat untuk kamu."

Hadits ini menunjukkan akan pentingnya memelihara tradisi suatu kaum yang berbeda-beda dan kecenderungan mereka yang beraneka ragam, dan ini berarti tidak bisa memaksakan kecenderungannya kepada semua orang.

Juga dengan hadits yang serupa, Imam Nasa'i dan Hakim meriyawatkan dan menganggap shahih, dari 'Amir bin Sa'ad, ia berkata, "Saya pernah masuk ke rumah Qurdhah bin Ka'b dan Abi Mas'ud Al Anshari dalam pesta perkawinan. Ternyata di sana ada budak-budak gadis wanita yang sedang menyanyi, maka aku katakan, "Wahai dua sahabat Rasulullah SAW ahli Badar, apakah pantas ini dilakukan di rumahmu? Maka kedua sahabat itu berkata, "Duduklah jika kamu berkenan, mari dengarkan bersama kami, dan jika kamu ingin pergi, maka pergilah, sesungguhnya telah diberi keringanan (rukhsah) kepada kita untuk bersenang-senang ketika pesta perkawinan."


4.
Tidak ada masalah mengenai lagu kecuali hanya kebaikan dunia yang dinikmati oleh jiwa dan dianggap baik oleh akal dan fitrah serta disenangi oleh telinga. Ia merupakan kelezatan telinga, sebagaimana makanan yang enak itu kelezatan bagi lidah, pemandangan yang indah itu kelezatan bagi mata dan seterusnya. Lalu apakah kebaikan dan kelezatan yang demikian itu diharamkan di dalam Islam atau dihalalkan..??

Sesuatu yang dimaklumi, bahwa sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bagi Bani Israil sebagian kenikmatan dunia, sebagai siksaan atas perbuatan mereka yang buruk, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:

"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil.. " (An-Nisa': 160-161)

Maka tidak ada dalam Islam sesuatu yang baik artinya dan yang di anggap baik oleh jiwa yang bersih dan akal yang sehat kecuali telah dihalalkan oleh Allah sebagai kasih sayang untuk semua. Karena risalahnya yang universal dan abadi, sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah. "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al Maidah: 4).

Jadi, Allah tidak memperbolehkan seorang pun dari hamba-Nya untuk mengharamkan atas dirinya atau atas orang lain sesuatu yang baik-baik dari apa yang diberikan oleh Allah dengan niat yang baik-baik untuk mencari keridhaan Allah, karena masalah halal dan haram itu hak Allah saja, bukan hak hamba-Nya.


5.
Imam Al Ghazali mengatakan di dalam kitabnya Ihya', "Barangsiapa tidak tergerak oleh suara yang terdengar, maka ia kurang atau telah keluar dari keseimbangan, jauh dari keindahan dan semakin bertambah keras tabiatnya terhadap keindahan.

Karena keindahan dan suara merdu itu berpengaruh, yang dengan pengaruh itu menjadi ringanlah segala sesuatu yang dirasa sangat berat dan jarak yang jauh pun terasa pendek serta dapat membangkitkan semangat baru. Sehingga unta pun apabila mendengar suara yang merdu, dia segera memanjangkan lehernya, memperhatikan dari mana arah suara itu dan cepat untuk menuju suara tersebut, sehingga apa yang dibawanya menjadi bergerak-gerak."

Jadi Apabila cinta pada lagu-lagu itu merupakan insting dan fitrah manusia, maka apakah agama ini datang untuk memerangi insting dan fitrah tersebut? Sama sekali tidak..!! Sesungguhnya agama ini datang justru untuk meluruskannya dan menghargainya dengan baik.


6.
Aisyah berkata, "Sungguh aku pernah melihat Nabi SAW menutupiku dengan selendangnya, saat itu saya sedang menyaksikan orang-orang Habasyah bermain di masjid, hingga aku merasa bosan dengan permainan itu, maka hargailah gadis muda yang senang untuk bermain-main."

Ali bin Abi Thalib berkata:
"Hiburlah hatimu sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila tidak suka, menjadi buta, Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan, maka carilah untuknya keindahan hikmah (kebijaksanaan)."

Abud Darda' berkata:
"Sesungguhnya aku akan menghibur diriku dengan permainan agar lebih kuat untuk memperjuangkan kebenaran."

Maka Apabila nyanyian itu termasuk permainan maka permainan atau hiburan tidaklah haram, karena manusia tidak akan tahan untuk hidup serius secara terus-menerus.

Bahkan Imam Al Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya lagu atau nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia dengan kata-katanya sebagai berikut, "Memang demikian, tetapi dunia seluruhnya adalah permainan. Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun, kecuali bercocok tanam yang itu menjadi penyebab memperoleh anak. Demikian juga bergurau yang tidak kotor itu hukumnya halal, demikian itu didapatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya."

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang belum mampu saya paparkan satu-persatu disini, karena keterbatasan Ilmu, waktu & tenaga, kiranya dapat saya simpulkan, bahwa :



Kesimpulan :


1.
Musik/Nyanyian itu Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam.
Contoh Nyanyian/syair yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Maka yang seperti inilah yang diHARAMKAN oleh Allah SWT.


2.
Penampilan/Cara bernyanyi Si penyanyi juga harus dipertimbangkan.
Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32).


3.
Tidak berlebih-lebihan
Dalilnya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.’ (QS. Al-A'raaf [7] : ayat 31)
Agama Islam mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, Karena sikap ini dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan.”


Wallahu’alam
Sumber :
Kitab Al Muhalla (Karya Ibnu Hazm)
Kitab Al Ihya (Karya Imam Ghazali)

Kitab Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh (Karya Yusuf Qardhawi)


Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!