(Sengaja Font
& warnanya saya Ubah-ubah, mengingat pelajaran management Otak yang pernah
saya Pelajari, Bahwa salah satu kiat membuat Orang tidak Bosan & Mengantuk
saat membaca Tulisan kita yang terbilang Panjang & Rumit, adalah dengan
cara memVariasikan Warna serta Font yang ada. Sehingga
Tercipta keselarasan Antara Otak Kiri & Kanan Kita, semoga Terbantu.. )
Banyak kalangan yang mengatakan
Bahwa mendengarkan, memainkan, menyairkan sebuah nyanyi-nyanyian,
senandung-senandung, alat musik dan lain sejenisnya, adalah suatu hal yang
Salah, Haram, Tidak Baik, bahkan Sesat & segudang sifat Buruk lainnya..
kali ini saya mau mencoba
memberikan dalil/argument kami mengenai Hukum Bermusik yang coba saya cari dari
berbagai Sumber yang saya tahu & InsyaAllah dapat dipertanggung jawabkan
baik di Dunia maupun di Akhirat nanti.. Aamiin, semoga Allah SWT memberikan
saya Taufik & Hidayahnya..
DALIL
yg MENOLAK SENI/MUSIK.
1. “Dan
diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang
menghinakan.” (Luqman: 6).
Mereka beralasan pada penafsiran para sahabat
tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan “lahwul hadits”
(perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.
Bantahannya
:
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana
yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm
dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan
dilihat dari beberapa segi”:
Pertama: TIDAK ADA hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw.
Kedua:
pendapat ini telah DITENTANG oleh
sebagian sahabat dan tabi’in yang lain.
Ketiga: nash ayat ini justru MEMBATALKAN
argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu, yaitu
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, yaitu mengolok-olok
Agama ALLAH, Menghinakan Ajaran ALLAH, atau untuk Menyesatkan seseorang dari
jalan Allah & Rasulnya.
Seseorang yang TERLALU SIBUK membaca Quran, belajar
Hadits, bersenandung Sholawat, tetapi MELALAIKAN
Sholat, tetap bisa dikategorikan apa yang dimaksud di Ayat tersebut, jadi ayat
ini bukan sebatas pada kata-kata yang tidak bermanfaat saja, tapi lebih luas
dari itu, APA SAJA yang membuat
melalaikan, menyesatkan, mengalihkan Hati, fikiran & Sikap kita dari Allah
& Rasulnya, maka itu juga sudah dianggap durhaka terhadap oleh & kepada
Allah SWT, bukan hanya khusus pada Nyanyi-nyanyian saja.
2. “Dan apabila mereka mendengar perkataan
yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …” (Al Qashash: 55).
menurut mereka, termasuk kata “laghwu” (perkataan yang tidak
bermanfaat) dalam ayat ini adalah ‘Nyanyian’
Bantahannya :
Pertama
: Penggunaan
ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian TIDAKLAH tepat, karena makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah
perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat
tersebut. Allah swt. berfirman:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat,
mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan
bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)
Kedua
: Kata
“al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan HANYA untuk sesuatu yang TIDAK ADA faedahnya, sedangkan
mendengarkan sesuatu yang berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan
hak atau melalaikan kewajiban.
Ketiga : Imam Ghazali berkata,
Saya (Imam Ghazali) katakan bahwa TIDAK
SEMUA nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan NIAT pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang
laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah
(pendekatan diri pada Allah) dan al
mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan
yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya. Dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu,
tetapi ia melihat hati & amalmu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)
3. Hadits Rasulullah SAW: "Setiap permainan yang dilakukan oleh
seorang mukmin maka itu suatu kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan
suami dengan isterinya, pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak
panah dari busurnya" (HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang
disebutkan dalam hadits ini.
Bantahannya :
Orang-Orang yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits
tersebut dha'if, seandainya shahih
pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu adalah bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi
menunjukkan tidak berguna.
Abu Darda' pernah
mengatakan, "Sesungguhnya aku akan
melakukan untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk
melakukan yang haq (kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga
hal dalam hadits tersebut tidak
dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi orang-orang
Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari tiga hal
tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak diragukan lagi
bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar suara-suara burung serta berbagai
permainan yang dilakukan oleh seseorang itu sama sekali tidak diharamkan, meskipun
boleh kita katakan itu bathil (tanpa guna) secara langsung.
4. Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq), dari Abi Malik atau 'Amir Al
Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW ia bersabda:
"Benar-benar akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan
(zina), sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari -
Mu'allaq)
Bantahannya:
Hadist tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia
termasuk "Mu'allaq," bukan
termasuk hadits yang sanadnya muttashil
(bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus,
selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya tidak selamat dari kegoncangan
(idhtiraab).
Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan
beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar
pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu
adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib
Damascus dan muqri'nya serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al
'Ajli men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat
ratus hadits yang tidak ada sandarannya (yang benar dari Rasul)."
Abu Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah berubah (hafalannya),
sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."
Imam Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).'
Imam Nasa'i mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan
pentautsiq-an secara mutlak)."
Meskipun Imam Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq
dan banyak meriwayatkan, namun ada
kemunkarannya.
Para ulama juga
mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali memakai upah.
Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada
saat-saat terjadi perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada
umumnya sudah menjadi fitnah.
Intinya andaikan hadits
ini dapat diterima, maka hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia
yang tenggelam dalam kemewahan, dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara
khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan sutera.
selain sifat yang diatas, maka tak mengapa.
5. Hadits dari 'Aisyah RA
: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual
belikannya, menghargainya, dan mengajarinya."
Bantahannya
:
Pertama :
Hadits
ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi
adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla)
Kedua : Imam Al Ghazali mengatakan, "Yang
dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi wanita yang bernyanyi di hadapan pria
dalam majelis khamr, dan menyanyinya para wanita di hadapan laki-laki fasik dan
orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu haram, mereka tidak bermaksud dengan
fitnah itu kecuali dilarang. Adapun menyanyinya budak wanita di hadapan
pemiliknya itu tidak difahami haram dari hadits ini. Bahkan kepada selain
pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan dalil hadits yang diriwayatkan
di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak wanita di rumah 'Aisyah RA, yang
akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya')
Ketiga : Para penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur
penting dalam aturan perbudakan, di mana Islam datang untuk memberantasnya
secara bertahap. Dan Islam tidak sependapat, hikmah ini menetapkan adanya kelas
tertentu pada masyarakat Islam. Maka apabila ada hadits yang melarang memiliki
budak penyanyi dan memperjual belikan, itu berarti dalam rangka merobohkan
sistem perbudakan yang kokoh.
Kesimpulan :
Bahwa nash-nash yang
dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya lagu-lagu itu mungkin
shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak
ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada Rasulullah SAW yang pantas dipakai
sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka
pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Syafi'iyah.
DALIL
KAMI YANG MENGATAKAN BOLEHNYA SENI MUSIK ITU.
1. Sesungguhnya Allah
Swt. menciptakan manusia dengan memberikannya insting dan tabiat yang cenderung
kepada apa saja yang dianggapnya BAIK
& INDAH, seperti pemandangan yang hijau dan suara gemericik air sungai
yang mengalir di sampingnya, lantas dengan itu dia menjadi tenang dan mungkin
memberikan semangat untuk lebih giat beraktifitas. Insting dan tabiat ini
adalah fitrah manusia yang dianugrahkan Allah Swt.
Kesenian atau dengan segala jenis nama lainnya, adalah merupakan
salah satu dari keindahan itu sendiri, dan Kecintaan kita terhadap keindahan
bisa mengitsbatkan keimanan dan menguatkannya, karena yakin bahwa keindahan
adalah hakikat dari ciptaan Allah Swt., dan Dialah Yang Maha Indah, puncak dari
segala keindahan.
Sesungguhnya Rasulpun telah Bersabda, “Allah Maha-Indah dan
menyukai keindahan” (HR. Muslim ), jika dihubungkan dengan sabab wurud-nya
hadits ini, maka dapat diambil faidah bahwa menggunakan pakaian yang bagus dan
indah, memperindah fisik, memperindah syair dengan memperbagus suara, selama
tidak disertai dengan kekaguman pada diri sendiri (‘ujub) dan kesombongan baik secara lahiriyah maupun
batiniyyah, maka hal tersebut tidak tergolong dalam kategori al-kibr
–mengingkari kebenaran dan merendahkan manusia.
2.
Berdasarkan hadits shahih, di antaranya adalah hadits tentang
menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi SAW di sisi Aisyah RA dan bentakan
Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya, "Seruling syetan
di rumah Nabi SAW".
Ini membuktikan bahwa
kedua wanita itu bukan anak kecil (sebagaimana anggapan sebagian orang, jadi
kalo anak kecil boleh saja menyanyi). Sebab kalau memang keduanya anak kecil,
pasti tidak akan memancing kemarahan Abu Bakar RA.
Yang menjadi penekanan
di sini adalah jawaban Nabi SAW kepada Abu Bakar RA dan alasan yang dikemukakan
oleh Rasulullah SAW bahwa beliau ingin mengajarkan kepada kaum Yahudi bahwa di
dalam agama kita itu ada keluwesan. Dan bahwa beliau diutus dengan membawa
agama yang bersih dan mudah. Ini menunjukkan atas wajibnya memelihara tahsin
shuratil Islam (gambaran Islam yang baik) di hadapan kaum lainnya, dan
menampakkan sisi kemudahan dan kelonggaran yang ada dalam Islam.
3. Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Aisyah
pernah menikahkan salah seorang wanita dari familinya dengan laki-laki Anshar,
maka Rasulullah SAW datang dan bertanya, "Apakah kalian sudah memberi
hadiah pada gadis itu?" Mereka berkata, "Ya (sudah)." Nabi
berkata, Apakah kamu sudah mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi? 'Aisyah
berkata, "Belum, maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sahabat
Anshar itu kaum yang senang dengan hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan
bersama gadis itu orang yang menyanyikan, "Kami datang kepadamu... kami
datang kepadamu... selamat untuk kami dan selamat untuk kamu."
Hadits ini menunjukkan
akan pentingnya memelihara tradisi suatu kaum yang berbeda-beda dan
kecenderungan mereka yang beraneka ragam, dan ini berarti tidak bisa memaksakan
kecenderungannya kepada semua orang.
Juga dengan hadits yang serupa, Imam Nasa'i dan Hakim
meriyawatkan dan menganggap shahih, dari 'Amir bin Sa'ad, ia berkata,
"Saya pernah masuk ke rumah Qurdhah bin Ka'b dan Abi Mas'ud Al Anshari
dalam pesta perkawinan. Ternyata di sana ada budak-budak gadis wanita yang
sedang menyanyi, maka aku katakan, "Wahai dua sahabat Rasulullah SAW ahli
Badar, apakah pantas ini dilakukan di rumahmu? Maka kedua sahabat itu berkata,
"Duduklah jika kamu berkenan, mari dengarkan bersama kami, dan jika kamu
ingin pergi, maka pergilah, sesungguhnya telah diberi keringanan (rukhsah)
kepada kita untuk bersenang-senang ketika pesta perkawinan."
4. Tidak ada masalah mengenai lagu kecuali hanya kebaikan dunia yang dinikmati
oleh jiwa dan dianggap baik oleh akal dan fitrah serta disenangi oleh telinga.
Ia merupakan kelezatan telinga, sebagaimana makanan yang enak itu kelezatan
bagi lidah, pemandangan yang indah itu kelezatan bagi mata dan seterusnya. Lalu
apakah kebaikan dan kelezatan yang demikian itu diharamkan di dalam Islam atau
dihalalkan..??
Sesuatu yang
dimaklumi, bahwa sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bagi Bani Israil
sebagian kenikmatan dunia, sebagai siksaan atas perbuatan mereka yang buruk,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Maka disebabkan kezhaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulu) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka makan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang bathil.. " (An-Nisa': 160-161)
Maka
tidak ada dalam Islam sesuatu yang baik artinya dan yang di anggap baik oleh
jiwa yang bersih dan akal yang sehat kecuali telah dihalalkan oleh Allah
sebagai kasih sayang untuk semua. Karena risalahnya yang universal dan abadi,
sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Mereka
menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah. "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al Maidah: 4).
Jadi, Allah tidak memperbolehkan seorang pun dari hamba-Nya untuk mengharamkan
atas dirinya atau atas orang lain sesuatu yang baik-baik dari apa yang
diberikan oleh Allah dengan niat yang baik-baik untuk mencari keridhaan Allah,
karena masalah halal dan haram itu hak Allah saja, bukan hak hamba-Nya.
5. Imam Al Ghazali mengatakan di
dalam kitabnya Ihya', "Barangsiapa tidak tergerak oleh suara yang
terdengar, maka ia kurang atau telah keluar dari keseimbangan, jauh dari
keindahan dan semakin bertambah keras tabiatnya terhadap keindahan.
Karena
keindahan dan suara merdu itu berpengaruh, yang dengan pengaruh itu menjadi
ringanlah segala sesuatu yang dirasa sangat berat dan jarak yang jauh pun
terasa pendek serta dapat membangkitkan semangat baru. Sehingga unta pun
apabila mendengar suara yang merdu, dia segera memanjangkan lehernya,
memperhatikan dari mana arah suara itu dan cepat untuk menuju suara tersebut,
sehingga apa yang dibawanya menjadi bergerak-gerak."
Jadi
Apabila cinta pada lagu-lagu itu merupakan insting dan fitrah manusia, maka
apakah agama ini datang untuk memerangi insting dan fitrah tersebut? Sama
sekali tidak..!! Sesungguhnya agama ini datang justru untuk meluruskannya dan
menghargainya dengan baik.
6. Aisyah berkata, "Sungguh
aku pernah melihat Nabi SAW menutupiku dengan selendangnya, saat itu saya sedang
menyaksikan orang-orang Habasyah bermain di masjid, hingga aku merasa bosan
dengan permainan itu, maka hargailah gadis muda yang senang untuk
bermain-main."
Ali bin Abi Thalib
berkata:
"Hiburlah hatimu
sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila tidak suka, menjadi buta,
Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan, maka
carilah untuknya keindahan hikmah (kebijaksanaan)."
Abud Darda'
berkata:
"Sesungguhnya
aku akan menghibur diriku dengan permainan agar lebih kuat untuk memperjuangkan
kebenaran."
Maka Apabila nyanyian itu termasuk permainan maka permainan atau
hiburan tidaklah haram, karena manusia tidak akan tahan untuk hidup serius
secara terus-menerus.
Bahkan
Imam Al Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya lagu
atau nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia dengan kata-katanya sebagai
berikut, "Memang demikian, tetapi dunia seluruhnya adalah permainan.
Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun, kecuali bercocok tanam yang itu
menjadi penyebab memperoleh anak. Demikian juga bergurau yang tidak kotor itu
hukumnya halal, demikian itu didapatkan dari Rasulullah SAW dan para
sahabatnya."
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang
belum mampu saya paparkan satu-persatu disini, karena keterbatasan Ilmu, waktu
& tenaga, kiranya dapat saya simpulkan, bahwa :
Kesimpulan :
1. Musik/Nyanyian itu Tema atau isi nyanyian harus
sesuai dengan ajaran dan adab Islam.
Contoh Nyanyian/syair yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan
gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak
(khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat
peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan
semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas
menimbulkan dharar. Maka yang seperti inilah yang diHARAMKAN oleh Allah SWT.
2. Penampilan/Cara bernyanyi Si
penyanyi juga harus dipertimbangkan.
Kadang-kadang
syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang
menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud
membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian
dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang
dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah
kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
“Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada
penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32).
3. Tidak berlebih-lebihan
Dalilnya,
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.’ (QS.
Al-A'raaf [7] : ayat 31)
Agama Islam
mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk
dalam ibadah, Karena sikap ini dapat melalaikan hati manusia dari melakukan
kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat
mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah
tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak
melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak
yang terabaikan.”
Wallahu’alam
Sumber
:
Kitab
Al Muhalla (Karya Ibnu Hazm)
Kitab
Al Ihya (Karya Imam Ghazali)
Kitab
Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh (Karya Yusuf Qardhawi)