Sabtu, 18 Mei 2013


(Sengaja Font & warnanya saya Ubah-ubah, mengingat pelajaran management Otak yang pernah saya Pelajari, Bahwa salah satu kiat membuat Orang tidak Bosan & Mengantuk saat membaca Tulisan kita yang terbilang Panjang & Rumit, adalah dengan cara memVariasikan Warna serta Font yang ada. Sehingga Tercipta keselarasan Antara Otak Kiri & Kanan Kita, semoga Terbantu.. )


Banyak kalangan yang mengatakan Bahwa mendengarkan, memainkan, menyairkan sebuah nyanyi-nyanyian, senandung-senandung, alat musik dan lain sejenisnya, adalah suatu hal yang Salah, Haram, Tidak Baik, bahkan Sesat & segudang sifat Buruk lainnya..

kali ini saya mau mencoba memberikan dalil/argument kami mengenai Hukum Bermusik yang coba saya cari dari berbagai Sumber yang saya tahu & InsyaAllah dapat dipertanggung jawabkan baik di Dunia maupun di Akhirat nanti.. Aamiin, semoga Allah SWT memberikan saya Taufik & Hidayahnya..


DALIL yg MENOLAK SENI/MUSIK.


1. 
“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6).

Mereka beralasan pada penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.


Bantahannya :

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi”:
Pertama: TIDAK ADA hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw.


Kedua:
pendapat ini telah DITENTANG oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang lain.


Ketiga:
nash ayat ini justru MEMBATALKAN argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu, yaitu Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, yaitu mengolok-olok Agama ALLAH, Menghinakan Ajaran ALLAH, atau untuk Menyesatkan seseorang dari jalan Allah & Rasulnya.

Seseorang yang TERLALU SIBUK membaca Quran, belajar Hadits, bersenandung Sholawat, tetapi MELALAIKAN Sholat, tetap bisa dikategorikan apa yang dimaksud di Ayat tersebut, jadi ayat ini bukan sebatas pada kata-kata yang tidak bermanfaat saja, tapi lebih luas dari itu, APA SAJA yang membuat melalaikan, menyesatkan, mengalihkan Hati, fikiran & Sikap kita dari Allah & Rasulnya, maka itu juga sudah dianggap durhaka terhadap oleh & kepada Allah SWT, bukan hanya khusus pada Nyanyi-nyanyian saja.


2.
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …” (Al Qashash: 55).
menurut mereka, termasuk kata “laghwu” (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam ayat ini adalah ‘Nyanyian’


Bantahannya :

Pertama :
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian TIDAKLAH tepat, karena makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)


Kedua :
Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan HANYA untuk sesuatu yang TIDAK ADA faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.


Ketiga :
Imam Ghazali berkata, Saya (Imam Ghazali) katakan bahwa TIDAK SEMUA nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan NIAT pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hati & amalmu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)


3
. Hadits Rasulullah SAW: "Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya, pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak panah dari busurnya" (HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang disebutkan dalam hadits ini.


Bantahannya :


Orang-Orang yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits tersebut dha'if, seandainya shahih pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu adalah bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi menunjukkan tidak berguna.

Abu Darda' pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku akan melakukan untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk melakukan yang haq (kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits tersebut tidak dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi orang-orang Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari tiga hal tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar suara-suara burung serta berbagai permainan yang dilakukan oleh seseorang itu sama sekali tidak diharamkan, meskipun boleh kita katakan itu bathil (tanpa guna) secara langsung.


4.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq), dari Abi Malik atau 'Amir Al Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW ia bersabda: "Benar-benar akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari - Mu'allaq)
Bantahannya:

Hadist tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk "Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil (bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus, selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab).

Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus dan muqri'nya serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya (yang benar dari Rasul)."

Abu Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah berubah (hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."

Imam Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).'

Imam Nasa'i mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara mutlak)."

Meskipun Imam Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq dan banyak meriwayatkan, namun ada kemunkarannya.

Para ulama juga mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali memakai upah.
Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat terjadi perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah menjadi fitnah.

Intinya andaikan hadits ini dapat diterima, maka hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam dalam kemewahan, dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan sutera.
selain sifat yang diatas, maka tak mengapa.


5.
Hadits dari 'Aisyah RA : "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual belikannya, menghargainya, dan mengajarinya."


Bantahannya :


Pertama :
Hadits ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla)


Kedua :
Imam Al Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi wanita yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya para wanita di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu haram, mereka tidak bermaksud dengan fitnah itu kecuali dilarang. Adapun menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram dari hadits ini. Bahkan kepada selain pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan dalil hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak wanita di rumah 'Aisyah RA, yang akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya')


Ketiga :
Para penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan, di mana Islam datang untuk memberantasnya secara bertahap. Dan Islam tidak sependapat, hikmah ini menetapkan adanya kelas tertentu pada masyarakat Islam. Maka apabila ada hadits yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjual belikan, itu berarti dalam rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh.


Kesimpulan :


Bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya lagu-lagu itu mungkin shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada Rasulullah SAW yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.


DALIL KAMI YANG MENGATAKAN BOLEHNYA SENI MUSIK ITU.


1.
Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan manusia dengan memberikannya insting dan tabiat yang cenderung kepada apa saja yang dianggapnya BAIK & INDAH, seperti pemandangan yang hijau dan suara gemericik air sungai yang mengalir di sampingnya, lantas dengan itu dia menjadi tenang dan mungkin memberikan semangat untuk lebih giat beraktifitas. Insting dan tabiat ini adalah fitrah manusia yang dianugrahkan Allah Swt.

Kesenian atau dengan segala jenis nama lainnya, adalah merupakan salah satu dari keindahan itu sendiri, dan Kecintaan kita terhadap keindahan bisa mengitsbatkan keimanan dan menguatkannya, karena yakin bahwa keindahan adalah hakikat dari ciptaan Allah Swt., dan Dialah Yang Maha Indah, puncak dari segala keindahan.

Sesungguhnya Rasulpun telah Bersabda, “Allah Maha-Indah dan menyukai keindahan” (HR. Muslim ), jika dihubungkan dengan sabab wurud-nya hadits ini, maka dapat diambil faidah bahwa menggunakan pakaian yang bagus dan indah, memperindah fisik, memperindah syair dengan memperbagus suara, selama tidak disertai dengan kekaguman pada diri sendiri (‘ujub)
dan kesombongan baik secara lahiriyah maupun batiniyyah, maka hal tersebut tidak tergolong dalam kategori al-kibr –mengingkari kebenaran dan merendahkan manusia.


2.
Berdasarkan hadits shahih, di antaranya adalah hadits tentang menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi SAW di sisi Aisyah RA dan bentakan Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya, "Seruling syetan di rumah Nabi SAW".

Ini membuktikan bahwa kedua wanita itu bukan anak kecil (sebagaimana anggapan sebagian orang, jadi kalo anak kecil boleh saja menyanyi). Sebab kalau memang keduanya anak kecil, pasti tidak akan memancing kemarahan Abu Bakar RA.

Yang menjadi penekanan di sini adalah jawaban Nabi SAW kepada Abu Bakar RA dan alasan yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau ingin mengajarkan kepada kaum Yahudi bahwa di dalam agama kita itu ada keluwesan. Dan bahwa beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan mudah. Ini menunjukkan atas wajibnya memelihara tahsin shuratil Islam (gambaran Islam yang baik) di hadapan kaum lainnya, dan menampakkan sisi kemudahan dan kelonggaran yang ada dalam Islam.


3.
Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Aisyah pernah menikahkan salah seorang wanita dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka Rasulullah SAW datang dan bertanya, "Apakah kalian sudah memberi hadiah pada gadis itu?" Mereka berkata, "Ya (sudah)." Nabi berkata, Apakah kamu sudah mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi? 'Aisyah berkata, "Belum, maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sahabat Anshar itu kaum yang senang dengan hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang menyanyikan, "Kami datang kepadamu... kami datang kepadamu... selamat untuk kami dan selamat untuk kamu."

Hadits ini menunjukkan akan pentingnya memelihara tradisi suatu kaum yang berbeda-beda dan kecenderungan mereka yang beraneka ragam, dan ini berarti tidak bisa memaksakan kecenderungannya kepada semua orang.

Juga dengan hadits yang serupa, Imam Nasa'i dan Hakim meriyawatkan dan menganggap shahih, dari 'Amir bin Sa'ad, ia berkata, "Saya pernah masuk ke rumah Qurdhah bin Ka'b dan Abi Mas'ud Al Anshari dalam pesta perkawinan. Ternyata di sana ada budak-budak gadis wanita yang sedang menyanyi, maka aku katakan, "Wahai dua sahabat Rasulullah SAW ahli Badar, apakah pantas ini dilakukan di rumahmu? Maka kedua sahabat itu berkata, "Duduklah jika kamu berkenan, mari dengarkan bersama kami, dan jika kamu ingin pergi, maka pergilah, sesungguhnya telah diberi keringanan (rukhsah) kepada kita untuk bersenang-senang ketika pesta perkawinan."


4.
Tidak ada masalah mengenai lagu kecuali hanya kebaikan dunia yang dinikmati oleh jiwa dan dianggap baik oleh akal dan fitrah serta disenangi oleh telinga. Ia merupakan kelezatan telinga, sebagaimana makanan yang enak itu kelezatan bagi lidah, pemandangan yang indah itu kelezatan bagi mata dan seterusnya. Lalu apakah kebaikan dan kelezatan yang demikian itu diharamkan di dalam Islam atau dihalalkan..??

Sesuatu yang dimaklumi, bahwa sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bagi Bani Israil sebagian kenikmatan dunia, sebagai siksaan atas perbuatan mereka yang buruk, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:

"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil.. " (An-Nisa': 160-161)

Maka tidak ada dalam Islam sesuatu yang baik artinya dan yang di anggap baik oleh jiwa yang bersih dan akal yang sehat kecuali telah dihalalkan oleh Allah sebagai kasih sayang untuk semua. Karena risalahnya yang universal dan abadi, sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah. "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al Maidah: 4).

Jadi, Allah tidak memperbolehkan seorang pun dari hamba-Nya untuk mengharamkan atas dirinya atau atas orang lain sesuatu yang baik-baik dari apa yang diberikan oleh Allah dengan niat yang baik-baik untuk mencari keridhaan Allah, karena masalah halal dan haram itu hak Allah saja, bukan hak hamba-Nya.


5.
Imam Al Ghazali mengatakan di dalam kitabnya Ihya', "Barangsiapa tidak tergerak oleh suara yang terdengar, maka ia kurang atau telah keluar dari keseimbangan, jauh dari keindahan dan semakin bertambah keras tabiatnya terhadap keindahan.

Karena keindahan dan suara merdu itu berpengaruh, yang dengan pengaruh itu menjadi ringanlah segala sesuatu yang dirasa sangat berat dan jarak yang jauh pun terasa pendek serta dapat membangkitkan semangat baru. Sehingga unta pun apabila mendengar suara yang merdu, dia segera memanjangkan lehernya, memperhatikan dari mana arah suara itu dan cepat untuk menuju suara tersebut, sehingga apa yang dibawanya menjadi bergerak-gerak."

Jadi Apabila cinta pada lagu-lagu itu merupakan insting dan fitrah manusia, maka apakah agama ini datang untuk memerangi insting dan fitrah tersebut? Sama sekali tidak..!! Sesungguhnya agama ini datang justru untuk meluruskannya dan menghargainya dengan baik.


6.
Aisyah berkata, "Sungguh aku pernah melihat Nabi SAW menutupiku dengan selendangnya, saat itu saya sedang menyaksikan orang-orang Habasyah bermain di masjid, hingga aku merasa bosan dengan permainan itu, maka hargailah gadis muda yang senang untuk bermain-main."

Ali bin Abi Thalib berkata:
"Hiburlah hatimu sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila tidak suka, menjadi buta, Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan, maka carilah untuknya keindahan hikmah (kebijaksanaan)."

Abud Darda' berkata:
"Sesungguhnya aku akan menghibur diriku dengan permainan agar lebih kuat untuk memperjuangkan kebenaran."

Maka Apabila nyanyian itu termasuk permainan maka permainan atau hiburan tidaklah haram, karena manusia tidak akan tahan untuk hidup serius secara terus-menerus.

Bahkan Imam Al Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya lagu atau nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia dengan kata-katanya sebagai berikut, "Memang demikian, tetapi dunia seluruhnya adalah permainan. Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun, kecuali bercocok tanam yang itu menjadi penyebab memperoleh anak. Demikian juga bergurau yang tidak kotor itu hukumnya halal, demikian itu didapatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya."

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang belum mampu saya paparkan satu-persatu disini, karena keterbatasan Ilmu, waktu & tenaga, kiranya dapat saya simpulkan, bahwa :



Kesimpulan :


1.
Musik/Nyanyian itu Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam.
Contoh Nyanyian/syair yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Maka yang seperti inilah yang diHARAMKAN oleh Allah SWT.


2.
Penampilan/Cara bernyanyi Si penyanyi juga harus dipertimbangkan.
Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32).


3.
Tidak berlebih-lebihan
Dalilnya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.’ (QS. Al-A'raaf [7] : ayat 31)
Agama Islam mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, Karena sikap ini dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan.”


Wallahu’alam
Sumber :
Kitab Al Muhalla (Karya Ibnu Hazm)
Kitab Al Ihya (Karya Imam Ghazali)

Kitab Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh (Karya Yusuf Qardhawi)


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!